- A. Latar
Belakang Masalah
Pemanfaatan merek-merek terkenal pada saat sekarang sudah mulai marak, hal
tersebut tidak lain karena menjanjikan keuntungan besar yang akan didapat
apabila mempergunakan merek terkenal dari pada menggunakan mereknya sendiri.
Apalagi pada saat krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti saat sekarang ini,
banyak produsen yang mensiasati dengan cara mengkombinasikan barang-barang
bermerek yang asli dengan yang bajakan, karena bajakan tersebut secara fisik
benar-benar mirip dengan yang asli.
Produk-produk bermerek (luxrury good) asli tapi palsu (aspal) seperti baju,
celana, jaket dan berbagai asesoris lainnya sangat mudah didapat dan ditemukan
di kota-kota besar, peredarannyapun meluas mulai dari kaki lima sampai pusat
pertokoan bergengsi. Salah satu daya tarik dari produk bermerek palsu memang
terletak pada harganya yang sangat murah, sebagai contoh harga satu stel dan
celana merek Pierre Cardin yang asli bisa mencapai Rp. 1,5 juta, untuk
produk bajakan yang secara fisik sama bisa diperoleh hanya dengan harga Rp.
150.000,- selain itu untuk produk celana Levi’s seri 501 yang
asli berharga Rp. 200.000,- sedangkan di kaki lima untuk jenis yang sama bisa
dibeli hanya dengan harga Rp. 45.000,-
Banyak alasan mengapa banyak industri memanfaatkan merek merek terkenal
untuk produk-produknya, salah satunya adalah agar mudah dijual, selain itu
merek tak perlu repot-repot mengurus nomor pendaftaran ke Dirjen HaKI atau
mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membangun citra produknya (brand image).
Mereka tidak perlu repot repot membuat divisi riset dan pengembangan untuk
dapat menghasilkan produk yang selalu up to date, karena mereka tinggal
menjiplak produk orang lain dan untuk pemasarannya biasanya “Bandar” yang siap
untuk menerima produk jiplak tersebut.
Secara ekonomi memang memanfaatkan merek terkenal mendatangkan keuntungan
yang cukup besar dan fakta dilapangan membuktikan hal tersebut, selain itu juga
didukung oleh daya beli konsumen yang pas-pasan tetapi ingin tampil trendi.
Jika dilihat dari sisi hukum hal itu sebenarnya tidak dapat ditolelir lagi
karena Negara Indonesia sudah meratifikasi Kovensi Internasional tentang TRIPs
dan WTO yang telah diundangkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1994 sesuai dengan
kesepakatan internasional bahwa pada tanggal 1 Januari 2000 Indonesia sudah
harus menerapakan semua perjanjian-perjanjian yang ada dalam kerangka TRIPs
(Trade Related Aspects of Intellectual Property Right, Inculding Trade in
Counterfeit Good), penerapan semua ketentuan-ketentuan yang ada dalam
TRIPs tersebut adalah merupakan konsekuensi Negara Indonesia sebagai
anggota dari WTO (Word Trade Organization).
Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam dunia perdagangan dewasa ini merek
adalah merupakan salah satu wujud karya intelektual manusia yang mempunyai
peranan yang sangat menentukan karena penggunaan atau pemakaian merek pada
perusahaan, tetapi juga mngandung aspek hukum yang luas baik bagi pemilik atau
pemegang hak atas merek maupun bagi masyarakat sebagai konsumen yang memakai
atau memanfaatkan barang atau jasa dari merek tertentu.
Merek mempunyai peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan
barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan penanaman modal. Merek dengan
bran imagenya dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda atau daya pembeda
yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas dari suatu produk, sebab
merek (branding) menjadi semacam “penjual awal” bagi suatu produk
kepada konsumen. Dalam era persaingan sekarang ini memang tidak dapat lagi
dibatas masuknya produk-produk dari luar negeri ke Indonesia karena fenomena
tersebut sebetulnya sudah jauh diprediksi oleh Kanichi Ohmae yang
menyatakan “bahwa pada masa mendatang dunia tidak lagi bisa dibatasi oleh
apapun juga” dan prediksi tersebut saat ini sudah nampak kebenarannya.
Merek sebagai aset perusahaan akan dapat menghasilkan keuntungan besar bila
didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan pengelolaan manajemen yang
baik. Dengan semakin pentingnya peranan merek maka terhadap merek perlu diletakan
perlindungan hukum yakni sebagai obyek yang terhadapnya terkait hak hak
perseorangan ataupun badan hukum.
Dengan berkembangnya dunia perdagangan yang pesat dan sejalan dengan laju
pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara, tentunya akan memberikan dampak
dibidang perdagangan terutama karena adanya kemajuan di bidang teknologi,
informasi, komunikasi dan transportasi yang mana sebagai bidang tersebut
merupakan faktor yang memicu globalisasi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).
Dalam kenyataan merek terkenal biasanya didahului oleh reputasi dan good
will yang melekat pada keterkenalan tersebut. Merek yang mempunyai “good will”
yang tinggi akan mampu memberikan keuntungan yang luar biasa bagi perusahaan,
meskipun sebetulnya merek adalah sesuatu yang tidak dapat diraba (intangible).
Sebuah merek akan menjelma menjadi aset capital semata-mata hanya berdasarkan
pada good will, oleh karena itu menurut Lendsford menyebutkan bahwa
perusahaan yang telah memiliki reputasi merek yang tinggi (higher
reputation) akan memilik aset kekayaan yang luar biasa hanya
berdasarkan pada good will dari merek tersebut.
Produk atau jasa yang bermerek saling lebih dahulu diiklankan dan dijual,
walaupun produk atau jasa tersebut secara fisik belum tersedia di pasaran
Negara tertentu. Media penyebaran dan periklanan modern menjadi semakin tidak
di batasi oleh batas-batas nasional mengingat canggihnya komunikasi teknologi
dan frekuensi orang bepergian atau mengadakan perjalanan melintas dunia.
pemilik produk atau jasa yang bermerek banyak memanfatkan berbagai event-event
yang banyak di tonton orang untuk memasarkan merek mereka sehingga orang yang
melihat merasa tertarik untuk membeli produk atau meggunakan jasa dari suatu
merek yang diiklankan tersebut.
Ditinjau dari aspek hukum masalah merek menjadi sangat penting, sehubungan
dengan persoalan perlu adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi
pemilik atau pemegang merek dan perlindungan hukum terhadap masyarakat sebagai
konsumen atas suatu barang atau jasa yang memakai suatu merek agar tidak
terkecoh oleh merek-merek lain, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa masalah
penggunaan merek terkenal oleh pihak yang tidak berhak, masih banyak terjadi di
Indonesia dan kenyataan tersebut benar-benar disadari oleh pemerintah, tetapi
dalam praktek banyak sekali kendala-kendala sebagaimana dikatakan oleh A Zen
Umar Purba (mantan Dirjen HaKI) bahwa Law Enforcement yang lemah. Memang
tidak dapat selamanya dijadikan alasan tetapi yang perlu diperhatikan adalah
mengapa hal itu bisa terjadi ?. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari sisi
historis masyarakat Indonesia yang sejak dahulu adalah masyarakat agraris,
sehingga terbiasa segala sesuatunya dikerjakan dan dianggap sebagai milik
bersama, bahkan ada anggapan dari para pengusaha home industri bahwa merek adalah
mempunyai fungsi sosial. Pada satu sisi keadaan tersebut berdampak positif
tetapi pada sisi lain justru yang anggapan demikian itu menyebabakan masyarakat
kita sering berpikir kurang ekonomis dan kurang inofatif.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam dunia usaha tujuan utama adalah untuk
mencari keuntungan, maka banyak sekali industri yang kurang memahami arti
penting hubungan antara pengusaha, konsumen dan masyarakat akan berperilaku
“profit oriented” semata tanpa memperhatikan aspek-aspek yang lain tetapi lebih
mementingkan kepentingan sendiri tanpa menghiraukan kepentingan pihak-pihak
yang lain dan yang lebih mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut adalah
tersedianya konsumen yang menggunakan produk mereka.
Pengusaha yang melihat hal itu sebagai salah satu peluang bisnis maka akan
berusaha memperoleh keuntungan melalui jalan pintas yang tidak layak dengan
cara membuat atau memasarkan barang atau produk dengan memalsukan atau meniru
merek-merek terkenal dan bagi konsumen adalah suatu gengsi tersendiri bila
menggunakan merek terkenal tersebut.
Faktor gengsi semu dari konsumen yang merasa bangga menggunakan merek
terkenal terutama produk dari luar negeri (label minded) juga sangat
mempengaruhi dan sekaligus menguntungkan pemalsuan merek, karena mendapatkan
kesempatan untuk memuaskan hasrat mesyarakat melalui merek-merek asli tapi
palsu (aspal) atau merek yang mirip dengan merek terkenal, dengan menghasilkan
produk yang kerapkali sengaja disesuaikan dengan kemampuan kantong kosong
konsumen yang ingin mengenakan merek terkenal tetapi tidak mempunyai kemampuan
untuk membelinya sehingga mereka membeli merek-merek asli tapi palsu asalkan
tetap bisa gengsi.
Pemakaian merek terkenal atau pemakaian merek yang mirip dengan merek
terkenal milik orang lain secara tidak berhak dapat menyesatkan konsumen
terhadap asal-usul, dan atau kualitas barang. Pemakaian merek terkenal secara
tidak sah dikualifikasi sebagai pemakaian merek yang beritikad tidak baik.
Penggunaan produk dengan merek-merek tertentu disamping good will yang
dimiliki oleh mereknya sendiri selain itu juga sifat fanatik dari konsumen
terhadap merek tersebut yang dianggap mempunyai kelebihan atau keunggulan dari
merek yang lain. Sifat fanatik yang dimiliki oleh konsumen tidak semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan saja, tetapi ada juga mengutamakan prestise dan
memberikan kesan tersendiri dari pemakainya sehingga dengan memakai persepsi
mereka adalah suatu “simbol” yang akan menimbulkan gaya hidup baru (life
style).
Adanya perbedaan persepsi didalam masyarakat mengenai merek menimbulkan
berbagai penafsiran, tetapi meskipun begitu berarti bahwa tindakan orang-orang
yang memproduksi suatu barang dengan mendompleng ketenaran milik orang lain
tidak bisa dibenarkan begitu saja, karena dengan membiarkan tindakan yang tidak
bertanggung jawab maka secara tidak langsung menghasilkan dan membenarkan
seseorang untuk menipu dan memperkaya diri secara tidak jujur.
Tindakan mempergunakan merek terkenal milik orang lain, secara keseluruhan
tidak hanya merugikan pemilik atau pemegang merek itu sendiri dan juga para
konsumen tetapi dampak yang lebih luas adalah merugikan perekonomian nasional
dan yang lebih luas lagi juga merugikan hubungan perekonomian internasional.
Untuk menghindari praktek-praktek yang tidak jujur dan memberikan
perlindungan hukum kepada pemilik atau pemegang merek serta konsumen maka
Negara mengatur perlindungan merek dalam suatu hukum merek dan selalu
disesuaikan dengan perkembangan perkembangan yang terjadi di dunia perdagangan
internasional yang tujuannya adalah mengakomodasikan semua
kepentingan-kepentingan yang ada guna menciptakan suatu perlindungan hukum.
Pada tahun 1961 Indonesia mempunyai Undang-undang baru mengenai merek
perusahaan dan perniagaan LN. No. 290 Tahun 1961. Undang-Undang tersebut disusun
secara sederhana hanya berjumlah 24 pasal dan tidak mencantumkan sanksi pidana
terhadap pelanggaran merek. Selain itu, asal undang-undang merek tersebut sama
dengan undang-undang merek sebelumnya yang ditetapkan oleh Belanda, hal
tersebut tidak terlepas dari kondisi perekonomian dan politik pada saat itu
yang masih memprihatinkan. Seiring dengan perkembangan perdagangan dan industri
serta sejalan dengan terbukanya sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada saat
itu maka sangketa-sangketa merek mulai muncul.
Dengan pesatnya perkembangan dunia perdagangan banyak sengketa-sengketa
merek pada saat itu terutama antara pemilik merek terkenal dengan pengusaha
lokal, hal tersebut disebabkan karena :
- Terbukanya
sistem ekonomi nasional, sehingga pengusaha nasional dapat mengetahui dan
memanfaatkan merek-merek terkenal untuk digunakan dan didaftar lebih dulu
di Indonesia demi kepentingan usahanya.
- Pemilik
merek terkenal belum atau tidak mendaftarkan dan menggunakan mereknya di
Indonesia.
Banyaknya sengketa merek sampai pada dekade 80-an, maka pada tahun 1987
pemerintah menetapkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.
M.01-HC.01.01 Tahun 1987 tentang “Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek
yang mempunyai Persamaan dengan Merek Terkenal Orang lain”. Dengan adanya
ketentuan tersebut maka banyak sekali pemilik merek terkenal yang mengajukan
gugatan pembatalan mereknya dan banyak pula perpanjangan merek yang ditolak
oleh kantor merek dikarenakan mempergunakan merek orang lain. Keputusan
tersebut kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Kehakiman No. M.03-HC.02.01
untuk lebih memberikan perlindungan terhadap pemilik merek-merek terkenal.
Selama masa berlakunya UU No. 21 Tahun 1961, banyak sekali perkembangan dan
perubahan yang terjadi dalam dunia perdagangan, dimana norma dan tatanan dagang
telah berkembang dan berubah dengan cepat, hal tersebut menyebabkan konsepsi
yang tertuang dalam Undang-undang merek Tahun 1961 sudah sangat tertinggal jauh
sekali. Untuk mengantisipasi perkembangan tersebut maka pemerintah pada waktu
itu mengeluarkan UU No. 19 Tahun1992 tentang merek (LN. No.81 Tahun 1992)
sebagai pengganti UU No.21 tahun 1961.
Sebagai Negara penandatangan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan
(General Agrement On Tarif and Trade) dalam putaran Uruguay (Uruguay
Round), Indonesia telah meratifikasi paket persetujuan tersebut dengan UU
No. 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (Agrement Establishing The World Trade Orgnization).
Sejalan dengan itu maka pemerintah membuat kebijakan baru dengan melakukan
perubahan dan penyempurnaan UU No. 19 Tahun 1992 dengan UU No. 14 Tahun 1997
dan diubah dan disempurnakan lagi dengan undang undang No. 15 Tahun 2001.
Tujuan dari penyempurnaan tersebut tidak lain adalah mengakomodasikan
ketentuan-ketentuan yang sudah menjadi komitmen internasional mengenal Hak atas
Kekayaan Intelektual.
Perubahan atau penyempuarnaan itu pada dasarnya diarahkan untuk
menyesuaikan dengan Konvensi Paris (Paris Convention For The Protection
Of Industriale Property) pada tahun 1883, selain itu juga disesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam persetujuan TRIPs (Trade
Releated Aspects Of Intelectual Property Right Including Trade In Counterfeit
Goods) atau aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak atas kekayaan
Intelektual.
Dalam Undang-undang merek No.15 Tahun 2001 ada perubahan sistem yaitu dari
sistem deklaratif (First to use system), menjadi sistem konstitutif (Fist
to file frinciple). Selain itu dalam undang-undang tersebut juga memberikan
perlindungan terhadap merek-merek terkenal. Meskipun telah diatur dalam
berbagai peraturan yang tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan, tetapi
dalam kenyataannya masih banyak juga pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab
dan beritikad tidak baik menggunakan merek terkenal milik orang lain yang
tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan. Dalam hal tersebut maka
pihak yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah konsumen, oleh karena
itu untuk lebih memberikan perlindungan kepada konsumen telah di undangkan UU
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang tentu saja tujuannya untuk
kesejahteraan rakyat (konsumen) dan untuk menjamin iklim perdagangan yang jujur
dan fair maka telah pula diundangkan UU No.5 Tahun 1999 tentang Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tetapi dalam undang-undang
tersebut masalah perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual
seperti Merek dikecualikan, karena merek adalah hak Eksklusif yang
diberikan oleh Negara kepada pemegangnya.
- B.
Identifikasi Masalah
Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut dapat
dilihat bahwa banyak sekali permasalahan disekitar hak atas kekayaan
intelektual khususnya mengenai merek, walaupun telah ada undang-undang yang
mengatur tetapi dalam kenyataannya masih juga terjadi
penyimpangan-penyimpangan, padahal dengan adanya hukum diharapkan terciptanya
suatu kepastian dan keadilan bagi semuanya.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti melakuan identifikasi masalah
sebagai berikut :
- Bagaimana
perlindungan terhadap merek terkenal ?.
- Bagaimanakah
perlindungan bagi konsumen terhadap pemanfaatan merek terkenal oleh
industri ?.
- Apakah
Hukum Positif yang ada memberikan perlindungan bagi merek terkenal sesuai
dengan konvensi-konvensi Internasional yang telah diratifikasi ?.
- C. Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum
bidang Hak atas Intelektual (HaKI) inklusif Hukum Merek yang merupakan
salah satu objek kajian Hukum Ekonomi.
Disamping itu secara khusus sesuai dengan rumusan permasalahan, tujuan
penelitian ini adalah :
- Untuk
mengetahui bagaimanakah perlindungan terhadap merek terkenal ynag
dilakukan oleh kalangan industri.
- Untuk
mengetahui bagaimanakah perlindungan terhadap konsumen terhadap tindakan
industri yang memanfaatkan merek-merek terkenal.
- Untuk
mengetahui sejauh mana konvensi-konvensi Internasional yang telah
diratifikasi dan menjadi hukum positif di Indonesia memberikan
perlindungan dan keadilan terhadap konsumen.
Apabila tujuan penelitian tercapai, diharapkan penelitian ini akan berguna
untuk :
1. Secara Teoritis
Memberikan manfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum khususnya hukum ekonomi
dalam bidang Hak atas Intelektual inklusif tentang merek terkenal dan mengenai
perlindungan konsumen.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada pemerintah selaku
pemegang otoritas yang berwenang membuat peraturan hukum bidang Hak atas
Kekayaan Intelektual khususnya tentang merek terkenal dan juga penegakan hukum
merek agar tercipta perlindungan dan keadilan bagi pemilik merek terkenal dan
masyarakat atau konsumen.
- D.
Tinjauan Pustaka
Suatu merek bagi produsen barang atau jasa sangat penting, karena berfungsi
untuk membedakan antara barang atau jasa satu dengan yang lainnya serta
berfungsi sebagai tanda untuk membedakan asal-usul, citra reputasi maupun
bonafiditas diantara perusahaan yang satu dengan yang lainnya yang sejenis.
Bagi konsumen dengan makin beragamnya barang dan jasa yang berada dipasaran
melalui merek dapat diketahui kualitas dan asal-usul dari barang tersebut.
Dalam kamus bahasa Indonesia Merek diartikan sebagai tanda yang dikenalkan
oleh pengusaha (pabrik, produsen, dsb) pada barang barang yang dihasilkan
sebagai tanda pengenal atau cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk menyatakan
nama dan sebagainya.
Secara yuridis pengertian merek tercantum dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 15
tahun 2001 yang berbunyi :
“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan
jasa”.
Dalam dunia perdagangan terdapat perbedaan tingkat derajat sentuhan
kemashuran yang dimiliki oleh merek, tingkatan merek tersebut dimulai
dari merek biasa atau “normal mark” kemudian merek terkenal atau “well-known
mark” dan yang tertinggi ialah merek termashur atau “famous
mark”.
Merek tidak hanya berfungsi sebagai tanda pengenal tetapi harus juga dapat
berfungsi sebagai tanda pembeda yang jelas. Agar suatu lambang yang mungkin
berbentuk lukisan atau gambar dan sebagainya bisa dibedakan dengan tanda atau
lambang yang dipakai oleh orang lain, maka lambang tersebut harus mempunyai
ciri khusus yang dilekatkan pada suatu benda atau barang yang merupakan media
sehingga melahirkan suatu tanda tadi menjadi merek. Supaya produk atau jasa
yang dibubuhi lambang tertentu bisa berkembang menjadi merek yang melambangkan
simbol dan mitos maka barang yang bersangkutan harus dikenal secara umum baik
pada suatu negara tertentu maupun dikenal secara intenasional.
Tujuan dari penggunaan merek adalah untuk memperlancar kegiatan perdagangan
barang atau jasa yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan, maka
dari perlindungan merek pada dasarnya tidak hanya untuk kepentingan pemilik
merek saja akan tetapi juga untuk kepentingan masyarakat luas sebagai konsumen.
Masalah perlindungan merek terkenal merupakan topik yang tidak hanya
terjadi di Indonesia tetapi juga menjadi masalah di negara-negara lain. Merek
terkenal memang menimbulkan magnet tersendiri bagi para pengusaha besar,
menengah atau pengusaha kecil, hal itu tidak terlepas dari faktor profil
(keuntungan) yang akan mereka dapatkan dengan menggunakan merek terkenal dari
pada mereka menggunakan mereknya sendiri.
Merek terkenal, oleh banyak penulis diibaratkan sebagai golongan VIP (Very
Important Person), karena menjadi idaman dan pilihan utama bagi semua
lapisan konsumen. Merek tersebut menjadi simbol yang memiliki reputasi tinggi (higher
reputasion) dan ikatan mitos (myticalcontext) pada segala lapisan
konsumen.
Semakin meningkat peranan merek dalam dunia usaha maka penggunaan merek
terkenal meningkat pula, karena masing-masing negara-negara menerapkan kriteria
yang berbeda dan bertentangan dalam menentukan apa yang disebut dengan merek
terkenal. Pemilik merek terkenal berhadapan dengan kebutuhan untuk melindungi
merek merek yang mereka miliki secara global, oleh karena itu perlindungan
terhadap merek terkenal secara khusus dan perlindungan terhadap Hak atas
Kekayaan Intelektual secara umum menjadi faktor yang paling penting dalam
hubungan perdagangan antar Negara.
Perlindungan merek terkenal diberlakukan baik terhadap barang atau jasa
sejenis maupun yang tidak sejenis. Perlindungan bagi merek yang terkenal ini
meliputi semua jenis barang dan jasa, sehingga peniruan merek terkenal milik
orang lain pada dasarnya dilandasi oleh “itikad tidak baik” dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan dengan membonceng keterkenalan suatu merek orang lain
sehingga tidak selayaknya mendapatkan perlindungan hukum. Dari hal tersebut
bisa diketahui bahwa perlindungan terhadap merek terkenal dapat dilakukan
dengan berbagai cara yaitu melalui inisiatif pemilik merek dan dapat
juga dilakukan oleh kantor merek yaitu dengan menolak permintaan pendaftaran
merek yang sama atau mirip dengan merek terkenal.
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan yaitu :
- Tidak
mengatur definisi dan kriteria merek terkenal.
- Penolakan
atau pembatalan merek, atau larangan penggunaan merek yang merupakan
reproduksi, tiruan atau terjemahan yang dapat menyesatkan atas suatu
barang atau jasa yang sama atau serupa apabila perundang-undangan negara
tersebut mengatur atau permintaan suatu pihak yang berkepentingan.
- Gugatan
pembatalan dapat diajukan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dari
pendaftaran, namun tidak ada jangka waktu apabila pendaftaran itu
dilakukan dengan itikad tidak baik.
Pengakuan dan perlindungan merek terkenal berbeda dari suatu negara denga
negara lainnya dan sampai saat ini belum terdapat keseragaman mengenai definisi
mengenai merek terkenal, oleh karena itu Negara turut serta dalan persetujuan TRIPs
Agreement berhak mengatur perlindungan merek terkenal dinegaranya sendiri.
Terhadap perlindungan merek terkenal dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 tentang merek diatur dalam pasal
6 ayat 1 (b), ayat 2 ayat 3 (a) yang berbunyi :
Pasal 6 :
1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat
Jenderal apabila merek tersebut:
- Mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah
terkenal milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenisnya.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf (b) dapat pula diberlakukan terhadap barang dan atau jasa yang tidak
sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3) Permohonan juga harus ditolak oleh Direktur
Jenderel apabila Merek tersebut:
a. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama
badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari
yang berhak.
Kemudian penjelasan pasal tersebut di atas menyatakan :
Pasal 6 ayat (1) Huruf b :
Penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhan dengan merek terkenal untuk barang dan atau jasa yang sejenis
dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek
tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Disamping itu, diperhatikan pula
reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar
besaran, investasi di beberapa Negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya,
dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa Negara. Apabila
hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan
lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survey guna memperoleh kesimpulan
mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan.
Pasal 6 Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 6 Ayat (3) Huruf a :
Yang dimaksud dengan nama badan hukum adalah nama badan hukum yang
digunakan sebagai Merek dan terdaftar dalam daftar Umum Merek.
Dari ketentuan diatas dapat ditentukan kriteria-kriteria yang dapat
digunakan untuk menentukan keterkenalan suatu merek terkenal yaitu :
- Pengetahuan
masyarakat yang relevan terhadap merek.
- Pengetahuan
masyarakat terhadap promosi merek.
- Didaftar
oleh pemiliknya diberbagai negara.
Selain perlindungan yang telah diatur dalam pasal 6 ayat 1 (b), ayat 2 dan
ayat 3 (a) UU No. 15 Tahun 2001, sebetulnya bagi siapa saja yang dengan sengaja
mempergunakan merek milik orang lain dapat dikategorikan telah melakukan
sesuatu kejahatan dan diancam dengan pidana penjara maupun denda sebagaimana
diatur dalam pasal 90, 91, 92, 93, dan 94 Undang undang No. 15 Tahun 2001.
Persoalan perlindungan hukum terhadap pemilik merek terkenal tidak hanya
dapat dipandang dari aspek hukum saja, akan tetapi perlu pula dipandang dari
aspek lain seperti aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek budaya yang terdapat
pada masyarakat itu.
Dipandang dari aspek ekonomi dan sosial banyak pengusaha lokal khususnya
kalangan home industri yang memanfaatkan merek terkenal untuk dijadikan merek
pada produknya dikarenakan :
- Kemampuan
bersaing antara pemilik merek terkenal dengan beberapa pengusaha lokal
(home industri) atau mereka anggap melakukan pelanggaran terhadap
pemiliknya merek terkenal (asing) terjadi karena terdapat beberapa
faktor-faktor yang tidak seimbang. Ketidak seimbangan karena kemampuan
modal dan sumber daya manusia yang meliputi pula kemampuan untuk melakukan
promosi, pemasaran serta persaingan yang jujur.
- Hubungan
kerjasama yang tidak seimbang antara pemilik merek terkenal dengan
pengusaha lokal dan sebaliknya. Misalnya perjanjian keagenan, distribusi,
lisensi dan sebagainya sehingga terjadi pemanfaatan merek terkenal oleh
segelintir pengusaha lokal.
- Sikap
masyarakat yang kerapkali memilih jalan pintas dalam memenangkan
persaingan, menunggangi hak-hak pihak lain atau ketika memilih
produk-produk asing yang disukainya. Rasa tidak percaya diri terhadap
produk dalam negeri juga menjadi salah satu alasan kenapa mereka memilih
merek terkenal walaupun itu merek asli tapi palsu (aspal).
Dampak dari globalisasi yang ditandai dengan makin banyaknya merek produk
luar negeri dan merek terkenal menimbulkan permasalahan dalam praktek, disatu
sisi terdapat pihak-pihak yang mengambil kesempatan ikut mendaftarkan
merek-merek terkenal dengan tujuan “Dagang Merek” yang sudah pasti
perbuatan itu dilakukan dengan itikad tidak baik. Untuk mengatasi hal itu sudah
ada aturan yang jelas yaitu dalam UU No. 15 Tahun 2001 khususnya pasal 4 telah
memperjelas maksud dan konsepsi yaitu merek tidak dapat didaftarkan atas
dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.
Pemilik merek terkenal walaupun tidak terdaftar, dalam mengajukan gugatan
untuk pembatalan pendaftaran merek, yaitu dengan terlebih dahulu harus
mengajukan permohonan pendaftaran merek kepada kantor Direktorat Jenderal
(pasal 68 ayat 2). Pengecualian itu diberikan kepada merek terkenal dengan
maksud untuk :
¡ Memberikan perlidungan secara
terbatas kepada pemilik merek terkenal yang tidak terdaftar.
¡ Mendorong pemilik merek
terkenal yang tidak terdaftar untuk mendaftarkan mereknya.
Perlindungan terhadap merek terkenal dapat kita lihat dari yurisprudensi
Mahkamah Agung seperti dalam kasus merek GIORDANO antara Giordano Ltd. melawan
Woe Budi Hermanto No. 426 PK / Pdt / 1994, tertanggal 3 November 1995,
dari keputusan Mahkamah Agung terdapat perkara tersebut mengandung beberapa
prinsip-prinsip sebagi berikut :
- Seseorang
berkewajiban untuk menegakan prinsip dan iklim perdagangan bebas dan
persaingan bebas. Kondisi dan iklim yang sehat dalam perdagangan hanya
dapat tercapai manakala semua bangsa menghormati pemilik atau pemegang
hak, baik pada pasar domestik maupun pada pasar internasional terlepas
dari mana barang itu berasal. Oleh sebab itu siapa saja dilarang untuk
melakukan persaingan curang (Unifair Competition) dengan
melakukan upaya apa saja (tiruan, reproduksi, terjemahan) terhadap merek
orang lain yang dapat mengelabui masyarakat.
- Semua
tindakan mengelabui dan mengembangkan terhadap sebuah merek yang pada
akhirnya akan membahayakan dan merugikan baik untuk pemilik, untuk
pemegang hak dan masyarakat (konsumen) haruslah dianggap dan
dikualifikasikan sebagai pelanggaran dengan sengaja dan perbuatan
memperkaya diri sendiri secara tidak sehat (Unjust Enrichment)
- Sebuah
merek menunjukan adanya good will yang mengandung nilai nilai moral,
material dan komersial. Dengan demikian good will yang melekat pada merek
adalah suatu kebendaan yang menerbitkan akibat-akibat sebagai berikut :
- Setiap merek harus diakui
sebagai bentuk kebendaan yang harus dilindungi oleh masyarakat dan penguasa.
- Setiap pemegang hak mempunyai
hak yang eksklusif dan berhak untuk menikmati haknya tersebut.
Perlindungan hukum dalam bidang merek dapat pula memberikan manfaat lain
yaitu mendorong alih teknologi dari negara maju, menyediakan informasi produk
serta perlindungan kepada para konsumen, karena secara tradisional merek
dilihat sebagai alat bagi produsen untuk menciptakan brandl oyaly diantara
para konsumen. Hal ini penting bagi keberadaan dan pengembangan perusahaan
industri.
Konsumen yang dimaksud disini adalah konsumen akhir. Secara harfiah
konsumen berarti setiap orang yang menggunakan barang atau jasa. Dilihat dari
tujuan penggunaan barang atau jasa maka konsumen dapat dibedakan menjadai 2
macam yaitu :
- Konsumen
yang menggunakan barang atau jasa sebagai bahan baku pembuat barang lain
dengan maksud untuk diperdagangkan (capital goods).
- Konsumen
yang mengguankan barang atau jasa dengan maksud memenuhi kebutuhan hidup
dirinya sendiri, keluarga atau rumah tangganya (consumen goods)
sumber: hukumonline.com
DAFTAR PUSTAKA
A. Insan Budi Maulana, Merek Terkenal Menurut TRIPs Agreement, Temu
Wicara Merek Terkenal, Direktorat Jenderal HaKI Departemen Hukum dan
Perundang-undangan, Jakarta, Maret 2000.
Didi Irwandi Syamsudin, Pemalsuan Merek Terkenal dan Dilema Penegakan
Hukum, Majalah Eksekutif No. 250, Juli 2000.
Djubaedillah. R, Sejarah, Teori dan Praktek Hak Milik Intelektual di
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Getas, Gede. LGst, Peranan Merek Dalam Dana Usaha, UPADA
SASTRA, Denpasar, Bali, 1994.
Harapan, M. Yahya, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di
Indonesia berdasarkan Undang Undang No. 19 Tahun 1992, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1994.
Maulana. Insan Budai, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia dari
Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
Rizawanto Wanita, Undang Undang Merek Baru 2001, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002.
Sjahputra, Imam, Herjandono, Heri Parjio, Hukum Merek Baru Indonesia
Tanya Jawab Teori dan Praktek, Harvarindo, Jakarta, 1997.
Peraturan Perundang-undangan
UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek